Tamu adalah raja, itulah kata-kata yang sering kita dengar dan kita dianjurkan untuk menghargai dan menghormati tamu. Cara menghargai dan menghormati tamu adalah kita harus bersikap ramah dan memenuhi kebutuhan tamu kita. Kita juga diwajibkan untuk menjamu tamu dengan makanan dan minuman. Akan tetapi kewajiban menjamu tamu hanya berlangsung selama tiga hari, jika lebih dari tiga hari, hal itu hanya merupakan sedekah biasa.
Pernah suatu ketika, Abu Hafsh menjadi tamu pada salah seorang tokoh sufi yang terkenal, namanya Syekh Asy-Syibli, beliau bertamu selama empat puluh hari dan selama itu pula beliau disajikan dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Setelah masa bertamu itu, Abu Hafsh pun hendak pamit, beliau berkata, ”Apabila engaku datang ke kotaku, Naishpur, aku akan mengajarkan kepadamu cara menjamu tamu dan memberikan kemurahan hati yang sejati. ”Asy Syibli bertanya keheranan, ”Apakah kesalahan yang aku buat selama menjamu Anda.”? Abu Hasfh menjawab, ”Engkau telah mempersulit dirimu sendiri, hidangan yang berkelebihan tidak sama dengan kemurahan hati. Sebaiknya engkau menjamu tamu seperti engkau menjamu dirimu sendiri.sesuaikan dengan kemampuan sendiri dan jangan terlalu memaksakan diri.dengan demikian, kedatangan tamu tidak dianggap sebagai beban yang menyulitkan dan kepergian tamu tidak dijadikan alasan untuk merasa lega. jika terlalu berkelebihan, kita tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang pemurah.”
Beberapa waktu kemudian.Asy-Syibli datang bertamu ke Naishpur bersama dengan empat puluh orang sahabatnya. Mereka menginap di rumah Abu Hafsh. Pada saat malam tiba, Abu Hasfh menyalakan empat puluh satu lampu untuk menerangi dirinya sendiri dan seluruh tamunya.
Melihat hal itu, Asy-Syibli menegur Abu Hafsh”Wahai Abu Hafsh, anda pernah menasehati aku supaya tidak berkelebihan dalam menjamu tamu, tetapi mengapa engkau sendiri berkelebihan”? kalau memang demikian, cobalah kamu padamkan lampu-lampu itu jawab Abu Hafsh.
Setelah Asy-Syibli pun menuruti perintah Abu Hafsh untuk memadamkan lampu-lampu itu. Akan tetapi dia hanya mampu memadamkan satu lampu yang berada di dekat Abu Hafsh, sedangkan ke empat puluh lampu lainnya tidak dapat dipadamkan.Asy- Syibli bertanya dengan keheranan. ”Wahai guru yang mulia, apa artinya semua ini?” Abu Hafsh pun menjawab. ”Kalian datang sebagai empat puluh tamu Allah swt. Demi Allah, aku niat menyalakan lampu untuk menerangi ke empat puluh tamu Allah swt dan sebuah lampu lagi untuk diriku sendiri. Ke empat puluh lampu yang dinyalakan dengan niat untuk Allah swt, tidak dapat engkau padamkan, sedangkan satu lampu yang dinyalakan untukku sendiri dapat engkau padamkan. Ingatlah semua perbuatan yang kamu lakukan selama aku bertamu di rumahmu. Engkau lakukan semuanya untuk menyenangkan aku. Akan tetapi semua yang kulakukan di sini aku niatkan untuk keridhoan Allah swt.Jadi semua yang kamu lakukan dulu merupakan perkara yang berkelebihan. Itu semua bukanlah kemurahan hati yang sebenarnya.”
Oleh karena itu, hendaklah kita menjamu tamu dengan sewajarnya, tidak berkelebihan dan tidak memaksakan diri.Sebagai tamu, kita juga hendaknya mengerti keadaan tuan rumah agar tidak menyusahkannya.
“Orang yang menunjukkan kebaikkan pada Anda adalah sahabat yang baik, dan orang yang menunjukkan kesalahan pada anda adalah sahabat yang paling baik.”
0 komentar:
Posting Komentar